Kamis, 10 Maret 2011

Teroris Politik dan Hukum

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan siap menyidangkan perkara terorisme yang melibatkan 17 terdakwa dalam pembunuhan dua warga Masamba (Sulsel). Memang, adalah kewajiban negara (state duty) untuk mencegah dan memerangi terorisme. Secara prosedural, kewajiban ini menimbulkan dilema antara keniscayaan pemberian diskresi kewenangan kepada institusi negara di satu pihak dan keharusan negara untuk tetap melindungi kebebasan sipil (civil liberties), terutama yang termasuk ke dalam rumpun non-derogable rights, di pihak lain. Kebijakan untuk memerangi terorisme harus senantiasa bertolak dari beberapa prinsip dalam penjelasan Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat Sipil.

Pertama, perlindungan kebebasan sipil serta penghargaan dan perlindungan hak-hak individu. Pembatasan terhadap hak-hak demokratik seperti itu hanya dapat dilakukan terhadap hak yang TIDAK termasuk ke dalam non-derogable rights, dalam jangka waktu sementara, dan untuk kepentingan publik.

Kedua, Pembatasan dan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan oleh negara. Ini dapat dilakukan dengan menerapkan sepenuhnya prinsip checks and balances dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan, spesialisasi fungsi institusi pelaksana kebijakan, dan tersedianya mekanisme akuntabilitas publik bagi pelaksanaan kebijakan. Negara mempunyai kewajiban untuk tetap mengutamakan kepentingan publik.

Terorisme merupakan fenomena yang sangat kompleks. Sebagai fenomena politik kekerasan, kaitan antara terorisme dan aksi-aksi teror tidak dapat dirumuskan dengan mudah. Tindak kekerasan itu dapat dilakukan oleh individu, kelompok, ataupun negara. Motivasi pelaku dapat bersumber pada alasan-alasan idiosinkratik, kriminal, maupun politik. Sasaran atau korban bukan merupakan sasaran sesungguhnya, tetapi hanya sebagai bagian dari taktik intimidasi, koersi, ataupun propaganda untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Kesamaaan tindakan terorisme terletak pada penggunaan kekerasan secara sistematik untuk menimbulkan ketakutan yang meluas.

Perkembangan teknologi dan globalisasi telah menjadikan ancaman terorisme semakin serius dan kompleks karena ketersediaan sumber daya dan/atau metoda baru. Oleh karena itu upaya pemberantasan terorisme tidak mungkin dilakukan hanya secara nasional semata.
Tatanan demokrasi mengutamakan keunggulan cara-cara persuasif, negosiasi, dan toleransi ketimbang cara-cara koersif, pemaksaan, dan penggunaan kekerasan. Konsolidasi demokrasi hanya dapat tercapai ketika semua pelaku politik menempuh cara-cara demokratik sebagai satu-satunya aturan main (the only game in town) dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Dengan demikian, merebaknya aksi-aksi teror merupakan ancaman serius terhadap demokrasi itu sendiri.

Meskipun perubahan politik sejak 1998 telah membuka ruang demokrasi, tetapi institusi, praktek dan kultur yang demokratis belum sepenuhnya terwujud. Perlindungan HAM, misalnya, masih belum sepenuhnya ditegakkan. Kontrol publik terhadap kekuasaan negara masih belum terjamin keberlangsungannya. Dengan kata lain, meskipun hak-hak warga mulai diakui, kekuasaan eksesif dan hegemoni negara belum sepenuhnya terkikis.

Masalah terorisme dan kewajiban untuk melawannya, telah memperumit proses transisi itu. terorisme dan penanggulangannya telah memunculkan tantangan bagi negara-negara demokrasi dalam mencari keseimbangan di antara security dan liberty. Dalam konteks itu, melawan terorisme membutuhkan sebuah kebijakan penanggulangan terorisme yang bersifat komprehensif baik dalam tataran anti maupun kontra terorisme.Undang-undang merupakan salah satu bagian dari upaya memberantas terorisme. Namun undang-undang harus menjamin keseimbangan antara security dan liberty.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar